RSS

TEORI KONSTRUKTIVISME



TEORI KONSTRUKTIVISME

A.    Latar belakang
Dalam perspektif psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kehidupan hidupnya. Belajar juga berarti suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 1991:2)[1].
Senada dengan hal tersebut Hamalik, (1992) menyatakan belajar mengandung pengertian terjadi perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilakunya, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap. Sedang Hilgard dan Brower dalam Hamalik (1992:45) menyatakan belajar adalah perubahan dalam perbuatan melalui aktivitas, praktik, dan pengalaman[2].
Dalam tahap belajar seseorang menjadi berubahan perilakunya karena adanya interaksi dengan dunia luar. Perubahan perilaku ini disebabkan karena manusia mendapatkan pelajaran dari hasil pengalaman ataupun mencari sendiri informasi tersebut.
Pembelajaran terpadu dikembangkan menurut paham Kontruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh individu dan pengalaman merupakan kunci utama dari belajar bermakna. Belajar bermakna tidak akan terwujud hanya dengan mendengarkan ceramah atau membaca buku tentang pengalaman orang lain. Mengalami sendiri merupakan kunci untuk kebermaknaan.[3]
Manusia  dapat memperoleh ilmu pengetahuan dari dua sumber utama: sumber ilahiah yang datangnya dari Allah dan sumber insaniah. Sumber insaniah adalah ilmu yang dipelajari manusia dari pengalaman – pengalaman pribadinya dalam kehidupan, kesungguhan dalam eksplorasi, observasi, upaya mengatasi berbagai masalah yang menghadang dengan cara trial dan error, atau melalui pengalaman praktis.[4]
Didalam agama maupun teori – teori  asing yang dibuat oleh manusia itu sendiri, jelas bahwa belajar adalah sebuah proses perubahan tingkah laku yang didasarkan pada pengalaman individu itu sendiri. Kontruktivisme menjabarkan bahwa belajar lebih berpihak kearah proses yang dimana proses itu sendiri dialami oleh individu tersebut, dan individu mendapatkan kesimpulan atau suatu hasil belajar dari pengalamannya sendiri.

B.     Tujuan penulisan
1.      Dapat menjelaskan teori belajar kontruktivisme.
2.      Dapat membentuk susunan RPP sesuai dengan teroi belajar konstruktivisme.
3.      Dapat menerapkan teori belajar kontruktivisme dalam kegiatan belajar di kelas.

C.     Teori
Teori pembelajaran kontruktivisme merupaan teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan – aturan lama dan merevisinya apabila aturan – aturan itu tidak sesuai lagi. Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberi pengetahuan kepada siswa. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjatnya (Slavin, 1994:225).[5]
Teori kontruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada didalam  diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang guru kepada orang lain (siswa). [6]
Glaserfeld, Bettencourt (1989) dan Matthews (1994), mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan hasil kontruksi (bentukan) orang itu sendiri. Sementara Piaget (1971), mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya, proses pembentukan berjalan terus menerus dan setiap kali terjadi rekonstruksi karena adanya pemahaman yang baru. Sedikit berbeda dengan para pendahulunya, Lorsbach dan Tobin (1992), mengemukakan bahwa pengetahuan ada dalam diri seseorang yang mengetahui, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada yang lain. Siswa sendiri yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan konstruksi yang telah dibangun sebelumnya.[7]
Untuk memahami lebih dalam tentang aliran konstruktivistik ini, ada baiknya dikemukakan tentang ciri – ciri belajar berbasis konstruktivistik. Ciri – cirri tersebut pernah dikemukakan oleh Driver dan Oldham (1994), ciri – ciri yang dimaksud adalah seperti berikut ini.
a.       Orientasi, yaitu siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topic dengan member kesempatan melakukan observasi.
b.      Elisitas, yaitu siswa mengungkapkan idenya dengan jalan berdiskusi menulis, membuat poster dan lain - lain.
c.       Restrukturisasi ide, yaitu klarifikasi ide dengan ide orang lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide baru.
d.      Pengginaan ide baru dalam berbagai situasi, yaitu idea tau pengetahuan yang telah terbentuk perlu diaplikasikan pada bermacam – macam situasi.
e.       Review, yaitu dalam mengaplikasikan pengetahuan, gagasan yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah.[8]
Pandangan konstruktivistik dilandasi oleh teori Piaget tentang skema, asimilasi, akomodasi, dan equilibration, konsep Zone of Proximal Development (ZPD) dari Vygotsky, teori Bruner tentang discovery learning, teori Ausubel tentang belajar bermakna, dan interaksionisme semiotik. Berikut ini akan dideskripsikan beberapa teori yang melandasi pendekatan konstruktivistik.

Ø  Pandangan teori konstruktivisme menurut Piaget:
*      SKEMA
Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema itu akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan mental anak. Skema bukanlah benda nyata yang dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang, maka tidak memiliki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. Skema adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan, dan naluri (Wadsworth, 1989).
*      ASIMILASI
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, melainkan memperkembangkan skema. Asimilasi merupakan salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengoirganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang itu berkembang.
*      AKOMODASI
Seseorang dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru, tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia punyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan mengadakan akomodasi, yaitu (a) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru atau (b) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Skema seseorang dibentuk dengan pengalaman sepanjang waktu. Skema menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan seseorang sekarang tentang dunia sekitarnya. Karena skema itu suatu konstruksi, maka bukan tiruan dari kenyataan dunia yang ada. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi ini terus berjalan dalam diri seseorang.
*      EQUILIBRATION
Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk perkembangan kognitif seseorang. Dalam perkembangan intelek seseorang diperlukan keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Proses ini disebut equilibrium, yaitu pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Disequilibrium adalah keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Equilibration adalah proses dari disequilibrium ke equilibrium. Proses tersebut berjalan terus dalam diri individu melalui asimilasi dan akomodasi. Equilibration membuat seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skema). Bila terjadi ketidakseimbangan, maka seseorang terpacu untuk mencari keseimbangan dengan jalan asimilasi atau akomodasi.[9]

Ø  Pandang teori Konstruktivisme menurut Vygotsky :
*      ZONE OF PROXIMAL DEVELOPMENT
Piaget dan Vygotsky merupakan dua tokoh utama konstruktivisme. Kedua tokoh ini memandang bahwa peningkatan pengetahuan merupakan hasil konstruksi pembelajaran dari pemelajar, bukan sesuatu yang “disuapkan” dari orang lain. Kedua tokoh ini juga berpendapat bahwa belajar bukan semata pengaruh dari luar, tetapi ada juga kekuatan atau potensi dari dalam individu yang belajar.
Meskipun memiliki kesamaan pandangan kedua tokoh ini juga memiliki perbedaan, yaitu;
For Piaget, modes of thinking in the child developed from “autistic” to egocentric to socialized thought. Vygotsky accepted the general stages of development but rejected the underlying genetically determined sequence. Succinctly stated, Piaget believed that development precedes learning, Vygotsky believed that learning precedes development. A second point of defference between the theorists is on the nature and function of speech. For Piaget egocentric speech, which the child uses when “thinking aloud” give way to social speech in which the child recognizes the laws of experience and uses speech to communicate. For Vygotsky, the child mind is in herently social in nature, and egocentric speech is social in purpose: children learn egocentric speech from other and use it to communicate with others (Solso, 2004).
Perbedaan lainnya antara lain; 1) Piaget memandang pentahapan kognitif anak berdasarkan umur yang kaku, semestara Vygotsky menyatakan bahwa dalam setiap tahapan itu terdapat perbedaan kemampuan anak, 2) Piaget lebih menekankan pada perkembangan kognitif anak sebagai manusia individu yang mandiri, sementara Vygotsky mementingkan perkembangan kognitif anak sebagai makhluk sosial, dan merupakan bagian integral dari masyarakat, dan Piaget menamai potensi diri anak sebagai skemata, sementara Vygotsky menyebutnya sebagai “Zone of Proximal Development”.

Ø  Pandang teori konstruktivisme menurut Bruner:
*      DISCOVERY LEARNING
Bruner (1973) membedakan dua tipe model mengajar, yaitu model expository dan model hypothetical (atau discovery learning). Discovery learning adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa menggunakan informasi untuk mengkonstruksi pemahamannya sendiri. Menurut Bruner, ada empat manfaat yang dapat diperoleh siswa dengan penerapan metode discovery learning ini, yaitu; 1) meningkatkan potensi intelektual, 2) mengubah dari reward ekstrinsik ke reward intrinsik, 3) mempelajari secara heuristik atau pengerjaan strategi guna melakukan penemuan di masa yang akan datang, dan 4) membantu dalam melakukan retensi dan retrival (memperoleh kembali informasi).
Ada dua tipe discovery, yaitu; unstructured discovery dan guided discovery. Unstructured discovery timbul dalam setting alami dimana siswa mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri, seperti seorang ilmuwan yang melakukan penemuan unik dalam proyek penelitian, sedangkan guided discovery timbul manakala guru memberikan gambaran tentang tujuan yang hendak dicapai, menyusun informasi sehingga pola-polanya dapat ditemukan, dan membimbing siswa ke arah tujuan.[10]

D.    Analisis teori
Teori konstruktivisme memahami bahwa proses belajar seseorang terbentuk dari hasil pemikiran atau pembentukan sendiri, dari mulai mencari satu masalah, mengeluarkan ide – ide baru, menguji ide tersebut dan mendapatkan hasil. Hasil pemikiran menutur teori konstruktivisme disini adalah pernyataan siswa tidak ada yang salah, hanya mungkin berbeda. Karena dalam teori konstrukturtivisme siswa dituntut untuk selalu memberikan tanggapan dan pendapat. Pendapat tersebut oleh seorang guru tidak bias dikatakan salah karena pemikiran setiap individu berbeda. Dengan menggunakan teori pembelajaran konstruktivisme siswa mampu lebih lama dalam mengingat suatu pelajaran, pelajaran yang di dapatkan atau disimpulkan oleh siswa sendiri lebih mudah untuk diingat, ini berdasarkan pengalaman pembelajaran. Apabila seseorang sudah merasa memahami sebuah pembelajaran maka ia dapat menyimpulkan dan di dalam otak saraf asosianya sangat mudah untuk mengklik hasil pembelajaran tersebut. Teori konstruktivisme juga memahami bahwa seseorang harus terus berkembang dan maju karena selalu menguji teori yang ada, mengeluarkan ide – ide baru dan menrevisi pelajaran apa yang sudah ada dengan menggunakan pemikiran baru yang lebih nyata dan lebih konkret. Dengan menggunakan teori ini dalam proses pembelajaran, guru berharap siswa memiliki pengetahuan yang jauh lebih maju dibanding guru karena guru hanya menjadi fasilitator atau pemancing dalam proses belajar, siswa mampu menyesuaikan diri seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi, dan siswa mampu mengexplore semua hasil pemikirannya sesuai dengan hasil pemikiran dan pengalaman yang ia cari sendiri.

E.     Kreatifitas dan inovasi 
 

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ

Artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Rab:11).
Penjelasannya : Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, disini Allah melihat usaha seseorang, apabila ia tidak berusaha merubah dirinya sendiri maka Allah tidak akan merubah nasib hidupnya. Allah menyuruh hambanya untuk berusaha sendiri, mencari sendiri apa apa yang menjadi kebutuhan mereka hingga manusia itu sendiri mendapatkan hasil sesuai apa yang dituainya didunia.

*      Tokoh – tokoh pendukung teori konstruktivisme adalah Jean Piaget, Vygotsky, dan Bruner.
1.      Jean Piaget
Menurut Jean Piaget (dalam Nur, 1998: 11), seorang anak maju melalui empat tahap perkembangan kognitif, antara lahir dan dewasa, yaitu tahap sensori motor, pra operasional, operasi kongkrit, dan operasi formal.
selanjutnya menurut Piaget bahwa anak membangun sendiri skemaat – schemata dari pengalaman sendiri dengan lingkungannya. Disini peran guru adalah sebagai fasilitator dan bukan sebagai pemberi informasi. Guru perlu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi para siswanya (Hadisubroto, 2000:11).
2.      Vygotsky
Teori Vygotsky menekankan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani tugas  tugas yang belum dipelajari namun tugas – tugas ini masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas tersebut berada pada zone of proximal development.
3.      Bruner
Teori Bruner adalah model pengajaran yang menekankan pentingnya pemahaman tentang struktur materi (ide kunci) dari suatu ilmu yang dipelajari. Menurut Bruner,  belajar akan lebih bermakna bagi siswa jika mereka memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajarinya.[11]







*      Skema perjalanan pembelajaran teori Konstruktivisme pada anak
Maksud dari skema di atas adalah tahap pertama anak dalam proses pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah mengidentifikasi masalah yang sedang di hadapi, selanjutnya ia akan mencari informasi yang sesuai dan menciptakan  banyak ide – ide baru untuk memecahkan masalahnya, memilih ide yang paling bagus/ baik yang dapat memecahkan masalahnya, setelah itu menguji ide tersebut, dan yang terakhir mengevaluasi hasil yang di dapat.

LATIHAN PEMBUATAN RPP BERDASARKAN TEORI KONSTRUKTIVISME

Identitas Pengajar
                  Nama                                : Nadia Putri
                  Tempat tanggal lahir        : Bekasi, 23 Januari 1996
                  Umur                                : 18 Tahun
                  Status                               : Mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif                                        Hidayatullah Jakarta
                  Jurusan                             : Pendidikan Ilmu pengetahuan Alam
                  Prodi                                : Pendidikan Fisika
                  Semester                           : Dua (II)
IdentitasSiswa
Nama                                : Firman Wahyu Saputra
Tempat tanggal lahir        : Tangerang, 01 Juni 1997
Alamat                            : Jl. Prof. Dr. Hamka RT. 02 RW. 01 No.12,    Larangan Selatan, Tangeran
Umur                                : 13 tahun
Sekolah                            : SMAN 47 Jakarta
Kelas                                : XI IPA 3
Mata pelajaran                  : Fisika
Semester                           : 2
Umur                                : 16  tahun

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Satuan Pendidikan            :  SMAN 47 Jakarta
Mata Pelajaran                 : Fisika
Kelas/Semester                 :  XI/ 2
Materi Pokok                   :  Fluida Statis
Alokasi waktu                  :  2 x 40 menit
A.    KOMPETENSI INTI
Memahami peranan dan konsep fluida dalam kehidupan sehari-hari.

B.     KOMPETENSI DASAR
Mengidentifikasi jenis fluida statis, macam – macam rumus yang berlaku di dalamnya dan pengaplikasiannya pada suatu benda.

C.    TUJUAN PEMBELAJARAN
Ø  Perkembangan Kognitif
1.      Siswa mampu merumuskan sendiri rumus hukum Pascal berdasarkan teori yang ada. ( C2, baris 3).
Alasannya :
Dalam taksonomi Bloom ranah kognitif  menggolongkan dan mengurutkan keahlian berpikir yang menggambarkan tujuan yang diharapkan. Proses berpikir mengekspresikan tahap – tahap kemampuan mengolah pikirannya sehingga mampu mengaplikasikan teori ke dalam perbuatannya.
Pada teori belajar konstruktivisme diatas seorang guru hanya sebagai seorang fasilitator dan siswanya yang mencari informasi itu sendiri. Disini guru berharap dengan hanya memberikan teori hukum Pascal, siswa mampu membuatnya menjadi suatu rumus yang sesuai.

2.      Siswa mampu membuktikan rumus massa jenis suatu zat benda menggunakan rumus hukum Archimedes. ( C3, baris 2)
Alasannya :
Pada skema di atas, tentang perjalanan pembelajaran teori konstruktivisme pada anak. Dijelaskan bahwa dari suatu masalah/problem yang di hadapi oleh siswa, siswa mampu mencari ide – ide baru atau membuktikan sesutau yang ada (disini berkaitan dengan rumus) benar atau tidak ataupun saling berhubungankah masalah satu dengan yang lainnya (disini membuktikan rumus massa jenis (problem 1) dengan hukum yang sudah ada yaitu hukum Archimedes).

3.      Siswa mampu menyimpulkan perbedaan hukum – hukum yang ada dalam fluida statis. (C5, baris 1)
Alasannya :
Pada Tahap Operasional Formal (usia 11 hingga 12 atau usia dewasa)
Anak – anak atau remaja yang berada dalam tahap operasional formal (formal operations stage) dapat memikirkan dann membayangkan konsep – konsep yang tidak berhubungan dengan realitas konkret. Selain itu, mereka juga mengenali kesimpulan yang logis sekalipun kesimpulan tersebut berbeda dari kenyataan di dunia sehari – hari. Disini anak yang menjadi siswa relawan sedang berada pada tahap operasional formal dan diharapkan dapat menyimpulkan sendiri perbedaan hukum – hukum yang ada di fluida statis sesuai dengan teori konstruktivisme yang mengharuskan siswa mengevaluasi dan menyimpulkan sendiri hasil temuannya.

Ø  Perkembangan Afektif
4.      Siswa mampu menyatakan pendapat dalam diskusi kelompok bab fluida statis. (A3, baris 3).
Alasannya :
Menurut Taksonomi Bloom ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif terbagi menjadi lima jenjang, jenjang yang kedua adalah tanggapan (Responding). Tanggapan atau Responding mengandung arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif  dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara.

5.      Siswa mampu mengikut sertakan dirinya dalam pelaksanaan demo percobaan hukum pascal. (A3, baris 7)
Alasannya :
Pada Taksonomi Bloom tentang ranah kognitif siswa dituntut untuk lebih aktif  karena ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi dan nilai. Dari minat ini seseorang akan mengikuti sesuatu yang menjadi kegemarannya, dan sudah mempunyai rasa cenderung menyukai sesuatu hal.

6.      Siswa mampu menyatakan pendapatnya (jawaban soal – soal) didepan kelas. (A5, baris 2)
Alasannya :
Taksonomi Bloom ranah kognitif tenang Penghargaan (Valuing), menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau member penghargaan suatu kegiatan atau objek.  Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Disini anak siswa sudah berani menyatakan suatu pernyataan atau pendapat hasil pemikirannya sendiri dengan informasi yang dimilikinya.

Ø  Perkembangan Psikomotorik
7.      Siswa mampu mempersiapkan alat – alat praktikum fluida statis. (P1, baris 3)
Alasannya :
Taksonomi Bloon tentang ranah psikomotori mengklasifikasikan menjadi 7 macam klasifikasi ranah psikomotorik point keduanya adalah kesiapan (set). Kesiapan fisik, mental, dan emosional untuk melakukan gerakan. Kesiapan mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam keadaan akan memulai suatu gerakan atau rangkaian gerakan.

8.      Siswa mampu menunjukan hasil percobaan hukum pascal dengan kebocoran pipa/ember. (P4, baris 11)
Alasannya :
Dalam ranah psikomotorik taksonomi bloom point 6 adalah penyesuaian (adaptation). Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam berbagai situasi. Adaptasi ini mencakup kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerak – gerik dengan kondisi setempat atau dengan menunjukan taraf keterampilan yang telah mencapai kemahiran.

Ø  Perkembangan Konsep diri dan Emosi
9.      Siswa mampu menindaklajuti hubungan antara tekanan atmosfer dan tekanan hidrostatis pada fluida statis.
Alasannya:
Emosi didefinisikan sebagai suatu keadaan gejolak penyesuaian diri yang berasal dari dalam dan melibatkan hampir keseluruhan diri  individu (Sujiono, 2005). Sedangkan menurut Goleman Bahasa emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran. Pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta rangkaian kecenderungan untuk bertindak (Syamsu, 2008). Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu keadaan yang kompleksi dapat berupa perasaan / pikiran yang di tandai oleh perubahan biologis yang muncul dari perilaku seseorang.
§  Fungsi emosi pada anak
Fungsi dan peranan emosi pada perkembangan anak yang
dimaksud adalah :
a. Merupakan bentuk komunikasi.
b. Emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya.
c. Emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan.
d. Tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi satu kebiasaan.
e. Ketegangan emosi yang di miliki anak dapat menghambat aktivitas motorik dan mental anak (Resa, 2010).

Ø  Perkembangan kreativitas
10.  Siswa mampu menciptakan sebuah alat dengan konsep fluida statis.
Alasannya :
“Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berfikir tentang sesuatu dengan suatu cara yang baru dan tidak biasa (unusual) dan menghasilkan penyelesaian yang unik terhadap berbagai persoalan” (Semiawan, 1999: 89)
Selain dari apa yang telah disebutkan diatas, maka untuk memahami pengertian kreativitas, maka Rhodes (Munandar, 1977) mengemukakan bahwa ada beberapa tinjauan yang harus dikaji. Adapun definisi kreativitas itu dapat dikaji melalui the Four P’s of Creativity (Person, Product, Process, and Press).
Kretivitas sebagai produk (product), suatu karya dapat dikatakan kreatif, jika karya itu merupakan suatu ciptaan yang baru atau orisinil dan bermakna bagi individu dan / atau lingkungan.




D.    Moteode Pembelajarn
Model pembelajaran terpadu yang ada didalam teori konstruktivisme memiliki beberapa implikasi penting teori Jean Piaget dalam pembelajarat, menurut Slavin (dalam Nur, 1998: 27):
1.      Memfokuskan pada proses berpikir anak, tidak sekedar pada produknya. Disampng itu dalam pengecekkan kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang di gunakan sampai pada jawaban tersebut.
2.      Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak – anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran.
3.      Penerimaan perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan. Bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namu mereka memperoleh pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya khusus untuk lebih menata kegiatan – kegiatan kelas untuk individu – individu dan kelompok – kelompok kecil anak – anak daripada kelompok  klasikal. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas tida menyajikan pengetahuan jadi, melainkan anak di dorong untuk menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi dengan lingkungannya.  Oleh karena itu, guru dituntut untuk mempersiapkan beraneka ragam kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung.
Dari implikasi teori Piaget diatas, jelasla guru harus mampu menciptakan keadaan pebelajaran yang mampu untuk belajar sendiri. Artinya, guru tidak sepenuhnya mengajarkan suatu bahan ajar kepada pebelajar, tetapi guru dapat membangun pebelajar yang mampu belajar dan terlibat aktif dalam belajar.

Ø  Mengatasi lupa dan jenuh dalam belajar
«  Faktor-faktor penyebab lupa
Ü  Pertama, lupa dapat terjadi karena sebab gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam system memori siswa. Dalam interference theory (teori mengenai gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua, yaitu: 1) practice interference; 2) retroactive interference (Reber 1988; Best 1989; Anderson 1990).
Seorang siswa akan mengalami gangguan proactive apabila materi pelajaran lama yang sudah tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru.
Sebaliknya, seorang siswa akan mengalami ganguan retroactive apabila materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap pemanggilan kembali materi pelajaran lama yang telah lebih dahulu tersimpan dalam subsistem akal permanen siswa tersebut.
Ü  Kedua, lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena sebab adanya tekanan terhadap item yang telah ada baik sengaja maupun tidak.
Ü  Ketiga, lupa dapat terjadi karena sebab perubahan sikapdan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu.
Ü  Keempat, menurut law of disuse (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena sebab materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunaakan atau dihafalkan siswa.
Ü  Kelima, lupa tentu saja dapat terjadi karena sebab perubahan urat syaraf otak. Seorang siswa yang terserang penyakit tertentu seperti keracunan, kecanduan alcohol, dan geger otak akan kehilangan ingatan ata item-item informasi yang ada dalam memori permanennya.

«  Kiat mengurangi lupa dalam belajar
Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal siswa. Banyak ragam kiat yang dapat dicoba siswa dalam meningkatkan daya ingatannya, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988), danAnderson(1990), adalah sebagai berikut:
Æ  Over learning
Over learning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Over learning terjadi apabila respons atau reaksi tertentu muncul setelah siswa melakukan pembelajaran atas respon tersebut dengan cara di luar kebiasaan. Banyak contoh yang dapat dipakai untuk over learning, antara lain pembacaan teks Pancasila pada setiap hari Senin memungkinkan ingatan siswa terhadap teks Pancasila lebih kuat.
Æ  Extra study time
Extra study time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan frekuensi aktivitas belajar. Penambahan alokasi waktu belajar materi tertentu berarti siswa menambah jam belajar, misalnya dari satu jam menjadi dua jam waktu belajar. Penambahan frekuensi belajar berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu, misalnya dari sekali sehari menjadi dua kali sehari. Kiat ini dipandang cukup strategis karena dapat melindungi memori dari kelupaan.
Æ  Mnemonic device
Mnemonic device (muslihat memori) yang sering juga hanya disebut mnemonic itu berarti kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukkan item-item informasi ke dalam system akal siswa. Muslihat mnemonic ini banyak ragamnya, yang paling menonjol adalah sebagaimana terurai di bawah ini:
Singkatan, yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau istilah yang harus diingat siswa. Pembuatan singkatan-singkatan ini seyogianya dilakukan sedemikian rupa sehingga menarik dan memiliki kesan tersendiri. Contohnya : cincin pada kapasitor disingkat menjadi Hi Co Me Ji Ku Hi Bi Ni U Ab Put
System kata pasak (peg word system), yakni sejenis teknik mnemonic yang menggunakan komponen-komponen yang sebelumnya telah dikuasai sebagai pasak (paku) pengait memori baru. Kata komponen pasak ini dibentuk berpasangan yang memiliki kesamaan watak (baik itu warna, rasa, dan seterusnya). Misalnya langit-bumi; panas-api; merah-darah; dan seterusnya.
Æ  Clustering
Clustering (pengelompokkan) ialah menata ulang item-item materi menjadi kelompok-kelompok kecil yang dianggap lebih logis dalam arti bahwa item-item tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip. Penataan ini direkayasa sedimikian rupa dalam bentuk daftar-daftar item materi sehingga mudah untuk dihafalkan.
«  Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Kejenuhan Belajar
Kejenuhan belajar dapat melanda siswa apabila ia telah kehilangan motivasi dan kehilangan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tetentu sebelum siswa tertentu sampai pada tingkat keterampilan berikutnya (Chaplin, 1972). Selain itu, kejenuhan juga dapat terjadi karena proses belajar siswa telah sampai pada batas kemampuan jasmaniahnya karena bosan (boring) dan keletihan (fatigue). Namun, penyebab kejenuhan yang paling umum adalah keletihan yang melanda siswa, karena keletihan dapat menjadi penyebab munculnya perasaan bosan pada siswa yang bersangkutan.
Menurut Cross (1974) dalam bukunya The Psychology of Learning, keletihan siswa dapat dikategorikan menjadi tiga macam yakni:
1) keletihan indera siswa
 2) keletihan fisik siswa
3) keletihan mental siswa.
 Keletihan fisik dan keletihan indera dalam hal ini mata dan telinga pada umumnya dapat dikurangi atau dihilangkan lebih mudah setelah siswa beristirahat cukup terutama tidur nyenyak dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup bergizi. Sebaliknya, keletihan mental tak dapat diatasi dengan cara yang sederhana cara mengatasi keletihan-keletihan lainnya. Itulah sebabnya, keletihan mental dipandang sebagai faktor utama penyebab munculnya kejenuhan belajar.
Sedikitnya ada empat faktor penyebab keletihan mental siswa yakni:
1)  karena kecemasan siswa terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh keletihan itu sendiri.
2)  karena kecemasan siswa terhadap standar/patokan keberhasilan bidang-bidang studi tertentu yang dianggap terlalu tinggi terutama ketika siswa tersebust sedang merasa bosan mempelajari bidang-bidang studi tadi.
3) karena siswa berada di tengah-tengah situasi kompetitif yang ketat dan menuntut lebih banyak kerja intelek yang berat.
Selanjutnya, keletihan mental yang menyebabkan munculnya kejenuhan belejar itu lazimnya dapat diatasi dengan menggunakan kiat-kiat antara lain sebagai berikut:
1) melakukan istirahat dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi dengan takaran yang cukup banyak.
2) pengubahan atau penjadwalan kembali jam-jam dari hari-hari belajar yang dianggap lebih memungkinkan siswa belajar lebih giat.
3) pengubahan atau penataan kembali lingkungan belajar siswa yang meliputi pengubahan posisi meja tulis, lemari, rak buku, alat-alat perlengkapan belajar dan sebagainya sampai memungkinkan siswa merasa berada disebuah kamar baru yang lebih menyenangkan untuk belajar.
4) memberikan motivasi dan stimulasi baru agar siswa merasa terdorong untuk belajar lebih giat daripada sebelumnya.

Ø  Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk)
Dikembangkan oleh Prof. Howard Gardner seorang ahli riset dari Amerika. Gardner mengatakan bahwa setiap orang memiliki bermacam-macam kecerdasan, tetapi dengan kadar pengembangan yang berbeda. Yang dimaksud dengan kecerdasan menurut Gardner adalah suatu kumpulan kemampuan atau keterampilan yang dapat ditumbuh kembangkan.
Atau dengan kata lain:
Berbagai kemampuan dan bakat anak dapat dikembangkan sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing anak tersebut untuk menemukan cara belajar yang efektif.
Ada 9 macam Multiple Intelligences :
1. Kecerdasan Logika
2. Kecerdasan Visual dan Spasial
3. Kecerdasan Linguistik
4. Kecerdasan Kinestetik
5. Kecerdasan Musik
6. Kecerdasan Interpersonal
7. Kecerdasan Intrapersonal
8. Kecerdasan Naturalistik
9. Kecerdasan Eksistensial
Menurut teori konstruktivisme dan hasil observasi terhadap siswa relawan, siswa memiliki multiple intelligences (kecerdasan majemuk) pada kecerdasan logika. Kecerdasan logika menyangkut beberapa point penting yaitu:
a.       Kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah.
b.       Mampu memikirkan dan menyusun solusi (jalan keluar) dengan urutan yang logis (masuk akal).
c.        Suka angka, urutan, logikal dan keteraturan.
d.       Mengerti pola hubungan .
e.        Mampu melakukan proses berfikir deduktif dan induktif.
Dari beberapa point diatas kecerdasan logika ini sangat cocok apabila cara pembelajarannya menggunakan teori konstriktivisme. Dari pada kecerdasan ini siswa mampu membangun kemampuannya sendiri, dan perjalanan skema pembelajarannya sama seperti apa yang sudah dijabarkan diatas.
E.     Evaluasi
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indicator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan notes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
     Pada pembelajaran terpadu penekanan evaluasi terletak pada proses maupun hasil. Karena aspek perilaku yang menjadi sasaran evaluasi banyak ragamnya, maka diperlukan teknik dan alat evaluasi yang beragam pula. Kegiatan evaluasi dimulai dengan pengamatan langsung yang bersifat informal sampai kepada tes formal yang valid dan reliable (Prabowo, 2000:7).

F.        Daftar Pustaka

Eveline Siregar & Hartini Nara. (2011). Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Najati, M.Utsman.1992. Psikologi Dalam Al-qur’an.Terjemahan:M. Zaka Alfarisi.Mesir:Dar Asy-Syuruq.
Nurjan, Syarifan, ddk.2009.Psikologi Belajar.Surabaya: Amanah Pustaka.
Syah, M. (2013). Psikologi pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Trianto.2010.Model Pembelajaran Terpadu.Jakarta: PT Bumi Aksara.

gambar:
www.google.com






[1] Syarifan Nurjan,ddk,2009,Psikologi Belajar,Surabaya: Amanah Pustaka, hlm.2-11.
[2] Ibid.
[3] Trianto,2010,Model Pembelajaran Terpadu,Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm.69.
[4] M.Utsman Najati,1992, Psikologi Dalam Al-qur’an,terjemahan:M. Zaka Alfarisi,Mesir:Dar Asy-Syuruq,hlm.251-252.
[5] Trianto,2010,Model Pembelajaran Terpadu,Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm.74
[6] Eveline Siregar & Hartini Nara,2011,Teori Belajar dan Pembelajaran,Bogor: Penerbit Ghalia Indonesi, hlm. 39
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Trianto,2010,Model Pembelajaran Terpadu,Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm.74